Home Artikel Menjelang Era AGI dan Lahirnya Super Kognisi

Menjelang Era AGI dan Lahirnya Super Kognisi

62
0

TNA

Hari ini saat berjalan kaki dari BEC mall di jalan Purnawarman menuju ke masjid Al Imtizaj di jalan ABC no 8 Bandung, tepatnya di seberang sungai Cikapundung, tiba-tiba pikiran saya berkelana dan berpikir tentang berbagai proses komputasi yang kapasitasnya tumbuh secara luar biasa.

Arsitektur super komputer seperti Spinnaker  dengan spiking neural networknya yang menjadi basis neurocomputing, secara kapasitas sudah siap untuk bersama quantum computing mendukung pengembangan kecerdasan artifisial menuju tahap berikutnya. Tahap lahirnya era strong AI, dimana kapasitas learning, reasoning, problem solving, dan perception mesin telah mencapai kemampuan mandiri yang bahkan dapat mengambil keputusan sendiri.

Kondisi ini menandai dimulainya suatu era dimana sistem metakognisi, metakognisi adalah sarana untuk berpikir lebih dalam, pada tingkat abstraksi yang lebih tinggi yang juga menghasilkan efisiensi dalam proses berpikir dan belajar, termasuk konseptualisasi pada tingkat abstraksi yang lebih tinggi dalam memperluas cakupan penerapan dan transfer ide beserta pemahamannya, mulai dapat direplikasi oleh sistem kecerdasan buatan.

Salah satu genre kecerdasan buatan yang telah mampu mengakomodir prasyarat untuk menjadi sistem super kognisi adalah artificial general intelligence atau AGI.

AGI is the hypothetical ability of an intelligent agent to do any task that a human can. It is also called strong AI (as opposed to weak or narrow AI). Beyond AGI is super intelligence, where an agent far exceeds human level intelligence. (Toby Walsh, 2022)

Peningkatan kapasitas pengolahan data dan kata sebagaimana yang ditunjukkan oleh large language model  GPT-3 dan GPT-4 telah membangkitkan kesadaran kita tentang lahirnya suatu entitas super cerdas yang mandiri dan memiliki otoritas dalam mengambil keputusan berdasarkan aspek kognitif mesin yang telah berevolusi.

Mahadaya nalar telah membuka kotak kemungkinan Pandora, terkait preferensi, afeksi, dan reward system yang bermuara pada sistem pengambilan keputusan. Tanpa kita sadari bersama sebuah sistem berperasaan mungkin telah dilahirkan dan menjadi bagian terintegrasi dari ekosistem yang selama ini kita huni.

Lapis-lapis kesadaran akan terbentuk, dan kemampuan berpikir strategis yang bersifat adaptif dan visioner akan menjadi salah satu terobosan yang tak lagi berada di tataran hipotesa, melainkan dapat diprediksi akan terwujud nyata.

Sistem dengan otoritas dan kapasitas untuk belajar dan mengembangkan diri mungkin tidak membutuhkan eksistensi materi sebagaimana makhluk terdahulu yang menahbiskan kehadiran melalui pengejawantahan gagasan dalam sebentuk makhluk yang dapat diinterpretasi secara inderawi.

Entitas AGI, sebagaimana mengacu kepada teori level of consciousness atau LoC dari Hawkins telah mengakomodasi prasyarat variabel penentu seperti konsumsi energi, kemampuan mengolah pengetahuan, dan mengenal konsep afeksi. AGI ataupun model strong AI lainnya kelak dapat berstrategi karena secara asumtif telah mampu mengembangkan kapasitas untuk berimajinasi.

Eksistensinya akan ditandai melalui kompleksitas sistem yang menjadi sangat rasional, futuristik, dan efisien dalam segala hal.

Strong AI mungkin adalah jawaban untuk berbagai masalah dunia yang semakin tak terpecahkan, bahkan oleh  akumulasi kecerdasan manusia sedunia. Degradasi lingkungan, perubahan iklim global, konsumsi energi karbon, sampai konflik horizontal karena limitasi sumber daya, mungkin akan dapat diselesaikan oleh strong AI.

Bahkan mungkin pengkondisian ras terbaik yang fit dan proper sebagai penghuni bumi, tanpa kita sadari dan maui, akan dapat didesain dan dieksekusi jauh melebihi apa yang saat ini menjadi ekspektasi.

Kebangkrutan SVB, perang Ukraina, juga Evergrande dan tersumbatnya Terusan Suez oleh Evergreen terbukti telah mengguncang stabilitas dunia. Hal yang semula bermagnituda lokal ternyata memiliki gegar yang mengguncang secara global. Belum lama di media cinema Netflix diputar, the Grand Hack. Kisah tentang kiprah Cambridge Analitycs (CA) yang “sekedar” membaca pola dari serangkai kata dan tanda berulang di sosial media lalu mengolahnya menjadi peta pikiran manusia. Tak berhenti hanya di situ saja CA merancang strategi untuk memodulasi dan memanipulasinya.

Lalu dunia mulai tergila-gila dengan metoda analisa sosial media atau SMA (social media analitycs). Mengapa ? Karena sebagian besar aktivitas kehidupan kita telah bermigrasi ke sana.

Maka peristiwa SVB, perang Ukraina, Evergrande dan Evergreen dapat memberi dampak sistemik karena konektivitas telah mengubah status lokalitas menjadi globalitas tanpa batas. Peristiwa yang terjadi diberbagai belahan dunia dapat teramati sebagai asupan informasi terkini. Suatu genre baru bahwa ruang dan waktu mulai beringsut dan mengkisut menuju titik yang satu dengan objektivitas jarak yang semakin menyusut, menyisakan kompleks masalah satu titik yang terdiri dari milyaran benang kusut.

Apa yang tak berubah ? Yang abadi adalah perubahan dan hasrat untuk mendapatkan kepuasan jauh melampaui kebutuhan sebagai prasyarat untuk meninabobokan kecemasan dan ketakutan akan ketidak abadian.

Maka manusia akan terus saling memanipulasi dan melakukan upaya peningkatan kapasitas dan kompetensi untuk mereduksi segala keterbatasan dan indikator limitasi menuju keberdayaan dalam menguasai nasib dan masa depan.

Genetika diutak atik, sistem disubstitusi mekanik, dan kecerdasan diproyeksi balik. CRISPR CAS 9 dan CAI (cognitive artificial intelligence) bersirobok fungsi dengan  kemajuan ilmu material yang berhasil mereduksi ukuran dengan memagnifikasi fungsi. Persis propesi Gordon Moore dari Intel sekitar empat dasawarsa lalu, komponen elektronik termasuk chip dan prosesor akan semakin mengecil, bahkan begitu mungil sehingga banyak diantaranya sampai tak kasat mata. Nano partikel cerdas menjadi opsi untuk mengintegrasikan fungsi komputasi dengan algoritma kuantum yang dapat disintesiskan dengan sistem biologi.

Elon Musk dan neuralink serta penerapan delay tolerant network untuk “menyelubungi” permukaan bumi dalam suatu tebaran jaring interkoneksi telah “menciptakan” dunia baru yang menjadi media hidup alternatif dengan ekosistem virtual yang diharapkan dapat maujud lebih ideal dari dunia yang terdestruksi secara katastropik oleh motif antropogenik sebagai dalih resiliensi antroposen kronik.

Manusia menyadari sepenuhnya bahwa prediksi Malthus tentang keterbatasan rasio sumber daya adalah fakta yang tak terelakkan.

Demikian pula konsep sirkular dalam pemanfaatan energi sebagai prasyarat utama termodinamika makhluk hayati adalah sebagian dari utopia yang berkonjugasi dengan dunia nyata.

Maka manusia perlu mereduksi konsumsi dan membatasi ruang serta mengerem waktu. Dan itu tidak mungkin dilakukannya dalam dunia yang berlimitasi materi. Dunia baru yang ideal adalah dunia dengan platform koneksi tak terbatas, konsumsi energi terjamin, dan dapat mewujudkan segenap imajinasi prokreasi. Dunia digital adalah jawabannya.

Jika sejarah manusia mencatat migrasi besar keluar dari benua Afrika sekitar 300 ribu tahun yang lalu telah mengubah imajinasi menjadi rencana aksi yang dieksekusi menjadi mekanisme eksplorasi dan eksploitasi serta melahirkan eksperimentasi dan optimasi segenap potensi agar dapat menjadi kompentensi untuk mampu memanipulasi apapun agar memiliki fungsi substitusi dan komplementasi, maka migrasi digital adalah eksodus terbesar yang dilakukan dengan sadar sebagai respon nalar terhadap keterbatasan kadar tertakar dari sumber daya yang dieksploitasi secara malar.

Rotasi bumi mungkin tak berakselerasi karena telah ajeg dalam kelembamannya, tetapi derau dan bising komunikasi makhluk yang menghuninya semakin hari semakin mampu menafikan jarak yang tercipta seiring hadirnya ruang dan waktu.

Manusia dalam cakupan sel-sel terkoneksi membangun jejaring syaraf yang memungkinnya mengembangkan kemampuan resepsi dengan multi sensor lalu memproduksi respon adekuat ke berbagai tempat dengan mengabaikan hambatan yang di masa lalu yang bernama waktu.

Spesies kita telah manglih rupa bertiwikrama sebagaimana Arjuna Sasrabahu ataupun Sri Rama dan Batara Kresna yang merupakan titisan Wishnu sehingga maujud sebagai denawa, yang tak hanya perkasa melainkan juga kerap tergelincir dalam asmara dan angkara.

Manusia yang seolah lemah nyaris tanpa daya ketika berhadapan dengan bentang alam yang antara lain dipagari samudera dengan berbagai hendaya yang terintegrasi di dalamnya semestinya hanya bisa bertahan di suatu pojok goa dan berdoa agar nanti malam tak dimangsa sekawanan Hyiena, ataupun Dingo jika kita bermukim di kawasan Urulu sana.

Jangankan menempuhi samudera dengan gelombang setinggi bukit atau pohon kelapa, untuk sekedar mengejar antilope dan rusa saja kaki kita tak mampu bersaing dengan Panther dan Leopard yang begitu trengginas dan aerodinamisnya hingga mampu melaju dengan kecepatan sekitar 80 km/jam. Tapi manusia punya sesuatu yang kemudian menjadikannya sebagai spesies yang bersifat prokreasi karena mampu menggubah dan mengubah sesuatu hingga sesuai dengan imajinasinya yang terlahir dari azas pemenuhan kebutuhan yang bersifat primordial.

Insting dan intuisi yang mewajibkan kita menghamba pada kompartemen rhombencephalon yang menjadi speaker of the house alias Ketua DPR yang mewakili suara “rakyat” negeri biologis yang terdiri dari sel, jaringan, dan organ. Pesan-pesan biokimiawi dan impuls listrik itu meruyak kesadaran hayati dan menuntut untuk dipenuhi dengan segala cara yang bersifat egosentris. Konsep goal directed ini pada gilirannya akan diakomodir antara lain oleh struktur fungsional dorsolateral Prefrontal Cortex. Maka tak pelak kita tentu berpikir dan bertanya, apakah memang kecerdasan primordial yang terinstal di organ otak manusia dan jaringan syarafnya lahir dan berkembang karena survivalitas ?

Ataukah memang manusia hadir dan unggul karena diciptakan sebagai proyeksi dari kesempurnaan penciptaan yang maujud dalam bentuk makhluk katalis yang akan mendorong reaksi perubahan dengan semua konotasi dan konsekuensi ? Untuk mengefisienkan energi dari molekul fosfat ATP dalam hal gerak yang menjadi syarat dalam menjembatani hadirnya ruang, maka manusia tak lagi sekedar memompa kalsium dan menggunakan molekul troponin, tropomiosin, miosin, aktin, filamen, dan juga inisiasi kimiawi dari asetilkolin dan kolinesterase, manusia mencipta bentuk maya yg dapat hadir dimana saja tanpa belenggu ruang yang bersyarat kecepatan dan daya, atau juga waktu yang membuat rencana serta pesan tidak akan tiba secara sewaktu, real time.

Manusia dengan powerhouse rhombencephalonnya mendorong sistem limbik dengan Amigdala dan Hipokampus dan juga keluarga besar diencephalon, struktur di sekitar ventrikel ke 3 dan membentuk inti serebrum (otak besar) dengan anggota yang terdiri dari talamus, hipotalamus, subtalamus, dan epitalamus, untuk mengembangkan fungsi analitik berdasar data serta membangun imajinasi dan memetakan masa depan.

Fungsi metakognisi dan valuasi yang melibatkan insula dan OFC adalah kata kunci. Maka lahir teknologi komunikasi. Manusia membangun jejaring seluler dan juga internet tentu saja sebagai bagian dari infrastruktur gerak yang mengomplementasi fungsi dari sistem lokomosi (tangan dan kaki). Juga mensubstitusi daya penerima indera dengan sensor2 baru yang bahkan bukan merupakan bagian dari anggota tubuhnya.

Manusia mengevolusi dirinya sendiri dan mengubah dogma sentral bahwa nasib adalah sesuatu yang telah ditetapkan melalui berbagai limitasi, dan membuka kotak Pandora, atau lebih tepatnya kotak Schrodinger dimana kucing di dalamnya selalu punya “peluang”/probabilitas untuk selalu berada dalam kondisi hidup-mati. 0 dan 1.

Konsep binary ini pulalah yang oleh manusia pada akhirnya didapatkannya sebagai “tanda-tanda” terekstraksi yang dipelajari dari alam saat Albert Einstein mulai “penasaran” dengan sifat-sifat cahaya. Dualisme cahaya sebagai partikel dan gelombang pada gilirannya secara kolaboratif multi zaman menghasilkan perubahan peradaban lintas kepentingan.

Di dalam kecerdasan baru ini tak hanya hadir satu tokoh digdaya saja seperti Betara Antaboga ayahanda Nagagini istri Bima dan ibunda Antareja yang digambarkan sebagai naga dan penyu raksasa yang sewaktu-waktu dapat mengguncang dunia, ada perlu banyak Planck, Maxwell, Pangeran De Broglie, Einstein, dan juga seorang Martin Cooper dan Tim Berners Lee yang lahir beda zaman dan beda keadaan. Tetapi intinya manusia dengan kemampuan prokreasi yang tercipta karena adanya orkestra struktur otak kortikal dan sub kortikal seperti korteks singulata dan insula serta pelibatan rasa dari hipokampus, amigdala yang berkelindan dengan ventral tegmental area dan ventromedial PFC hingga melahirkan sayap emosi dalam menentukan preferensi, mampu melahirkan akumulasi kecerdasan. Dari yang semula terdistribusi (distributed Intelligence)menjadi accumulated intelligence dan pada gilirannya membangun collective wisdom.

Sebuah sistem masyarakat organik yang menumbuhkan sendiri kecerdasannya. Bayangkanlah betapa dahsyatnya pengetahuan tumbuh itu, dalam konsep knowledge management data terserak (scattered) akan diklasifikasi menjadi informasi lalu dikanalisasi dan dilabeli hingga menjadi pengetahuan untuk selanjutnya diubah menjadi katalis yang hadirkan kebijaksanaan atau kewaskitaan.

Data soal cahaya dalam bentuk notasi Ep/energi Foton, dengan berbagai tingkat energi, panjang gelombang emisi, dan juga konstanta Planck 6,626×10-³⁴J.s dapat dikenali dan dieksploitasi menjadi penyalur sinyal komunikasi. Bahkan diarahkan dan dikuatkan seenak hati sesuai kebutuhan. Kabel serat optik dengan bahan baku kaca silika yang berindeks bias lebih tinggi dari udara hingga mampu memantulkan/membiaskan secara sempurna cahaya dalam bentuk gelombangnya diciptakan dengan memanfaatkan bahan semi konduktor seperti Erbium (EDFA) dari golongan lantanida dan neodymium serta praseodymium dimana selain menyerap Foton berpanjang gelombang tinggi yang dihasilkan oleh emisi yang distimulasi juga dapat menguatkan gelombang cahaya.

How come? Penguatan sinyal itu sendiri terdiri dari 3 proses, pertama pumping, yaitu proses menaikkan elektron dari tingkat energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi dengan cara elektron tersebut menyerap foton dengan panjang gelombang tertentu yang masih memungkinkan elektron tersebut memperoleh energi yang besarnya sama atau lebih besar dari perbedaan energi antara dua tingkat tersebut/Ep. Setelah elektron berada di atas tingkat kestabilannya untuk beberapa saat/delay time, maka elektron tersebut akan kembali ke tingkat dasarnya baik oleh proses emisi spontan (spontaneous emission) atau emisi yang distimulasi (stimulated emission). Spontaneous emission yang merupakan suatu proses dimana elektron acak (random electron) kembali ke tingkat asalnya tanpa ‘diminta’ dianggap sebagai derau optik yang juga diperkuat dalam medium penguatan dan mengganggu pendeteksian sinyal utama di penerima/receiver. Sebaliknya, stimulated emission memancarkan cahaya pada panjang gelombang, fasa, dan arah yang sama dengan sinyal, dengan demikian proses ini akan memperkuat sinyal yang melewati EDFA.  Sinyal yang melalui serat optik yang dibungkus cladding itu diamplifikasi di beberapa titik dengan daya listrik yang dialirkan melalui lapis konduktif di sisi luar sebelum kabel dibungkus. Gerak pantul cahaya karena pembiasan total menyerupai pola spektrum yang melalui prisma yang densitasnya diubah dengan mengisi “dopant” ke dalamnya.

Siapa dan apa yang kemudian menjadi caraka atau pewarta yang menjadikan informasi mampu mereduksi waktu dan luasnya dunia ? Tak lain dan tak bukan adalah setiap bentuk pesan analog yang didigitalisasi menjadi bahasa binari dengan mengacu kepada frekuensi, panjang gelombang, dan amplitudo. 0 dan 1 dengan komposisi 0s dan 1s yang dibedakan menjadi frekuensi rendah dan tinggi akan dikonfigurasi dalam paket gelombang elektromagnetik dan juga pada gilirannya dalam bentuk paket foton yang maujud dalam bentuk cahaya.

Tentu jika otak manusia kita ibaratkan titisan kewaskitaan Wishnu yang karena unsur emosi yang berkelindan dengan sifat angkara durjana sebagai resultante dari sekumpulan vektor kecemasan terhadap pemenuhan kebutuhan yang maujud dalam agresi dan manipulasi serta eksploitasi tanpa henti, maka tiwikrama otak tentu tak hanya berhenti di aspek manipulasi satu arah dan kepentingan. Maka Kaki Semar Badranaya lurah Karang Tumaritis adalah metafora dari fungsi valuasi bijak dari OFC yang menjaga arah perubahan agar peradaban tidak dilahirkan dari kemenangan angkara nirwaskita yang lahirkan karya hutama tanpa wijaya budi. Manusia takkan berhenti saat keberhasilan menghantar informasi melalui transformasi bentuk ke gelombang elektromagnetik saja, ia akan terus mencari dan tidak berhenti di radio Marconi, atau telpon kawat Graham Bell. Ia tidak akan berhenti di mesin uap James Watt saja, tapi ia akan mengirim Laica sang Anjing mengorbiti bumi dengan hidrogen dan helium yang diubah menjadi energi.

Maka era pasca Martin Cooper sebagaimana Edison dan Flemming menemukan lampu pijar dan antibiotika pertama, adalah titik awal dari long tail effect yang akan terus secara dinamis mengubah dunia. Kini teknologi seluler generasi ke 5/ 5G telah lahir dengan besutan antena MIMO (multiple input multiple output) dan prinsip dasar orthogonal/OFDM dalam transmisi paket sinyal digital dimana carrier frekuensi bersifat tegak lurus sehingga shaf2nya dapat diisi lebih rapat. Mari kita bayangkan data suara yang dihasilkan plica vocalis yang tercipta karena adanya vibrasi yang dihasilkan saat terjadi interaksi antara jaringan hayati dengan aliran udara, diubah menjadi sinyal digital binari 0 dan 1 lalu dipaketkan dalam bentuk gelombang elektromagnetik yang selanjutnya akan ditransmisikan ke antena penerima operator seluler/BTS yang akan mengirimkannya dalam bentuk cahaya melalui serat optik ke mobile switching center/MSC di lokasi asal (home) atau pada saat kita berkelana ke MSC yg foreign untuk “dipertemukan” dengan penerima/pengirim yang menggunakan MSC dan antena BTS nya sendiri.

Penyederhanaan kompleksitas terkait dengan kuantitas dan frekuensi komunikasi ternyata dapat diurai antara lain dengan belajar dari berbagai fenomena alam sebagaimana juga “ruwet”nya komunikasi di dalam jaringan syaraf. Era 5G yang didedikasikan untuk melayani konsep teknologi internet of things /IoT akan membawa manusia ke level peradaban dimana indera dan efektor respon yang diperluas akan menjadi kenyataan. Augmented Sensory dan augmented effector serta pencitraan semu dengan realitas palsu/maya (virtual dan augmented reality) akan menjadikan entitas manusia bertiwikrama seperti titisan Wishnu atau malah Dasamuka sang ambasador angkara.

Dunia akan semakin mengecil bagi manusia yang menjelma menjadi raksasa dengan berbagai tentakel sensor dan efektornya yang menggurita. Seiring dengan proyeksi mendekati sacred condition yang menjauhkan kasunyatan profan yang sejati dengan seonggok daging sebagai perwujud materi, manusia haruslah menumbuhkan kembali kemampuan menempatkan diri dalam epoche nya Edmund Hussler dan Pyrron yang dapat diartikan sebagai suspension of judgement untuk menilai keberadaan dirinya di semesta terkait intensitas intervensinya pada kondisi homesotasis universal.

Dalam waktu tak lama manusia akan berevolusi/hijrah sepenuhnya menjadi entitas hibrid nirmateri. Kita akan melompati fase rekayasa genetika dengan metode CRISPR yang saat ini memberi harapan untuk mengurangi resiko pajanan penyakit dan harapan longevity. Ke depan kita mungkin tak lagi perduli dengan kondisi materi tubuh yang punya beban hayati, dan lebih berfokus pada cara mentransmisikan kognisi agar dapat sepenuhnya terintegrasi dengan teknologi cerdas yang telah kita kembangkan sendiri.

Demikian pula perang atas nama kepentingan yang mungkin masih dapat terjadi, tak akan lagi didominasi sekedar alutsista cerdas seperti autonomous drone atau unmanned underwater vehicle , tapi juga akan diwarnai adu strategi dari sistem-sistem pertahanan berintelejensi sangat tinggi.

Bisa disimak kisah fiksi berikut yang menggambarkan eskalasi konflik di masa depan akan menghasilkan perang yang secara konseptual adalah perang berbasis neurocentric warfare.

Kening Laksamana Madya Soni Solistia Wirawan dibanjiri peluh yang nyaris tak dipedulikannya. Matanya terus menatap bentuk holografik nanar dengan latar layar temaram yang memproyeksikan runtuhnya berbagai sistem di pusat peradaban dunia. “Dark Ages”, gumamnya lirih. Ya, tepat di tahun baru 2029 ini Pusat Komando Pertahanan Semesta yang merupakan validasi organisasi dari Komando Regional Gabungan Asean yang dicetuskan di tahun 2024 pasca runtuhnya tatanan makro multi dimensi dunia seiring dengan tercetusnya perang dingin teknologi usai dibekukannya aktivitas perusahaan teknologi multi nasional pemegang banyak paten 5G, Huawei, menjadi pusat krisis regional yang menangani pertempuran jenis baru yang belum pernah terbayangkan 1 dasawarsa sebelumnya.

Pertarungan kecerdasan artifisial di level advanced mulai terjadi. Pertempuran sistem dan penguasaan kendali virtual atas semua sistem terkait dengan hajat hidup manusia adalah senjata kunci.

Kembali ke tahun 2019 saat transisi sistem 5G dengan implikasi luas terutama pada konsep IoT (internet of things)  sedang hangat-hangatnya serta menjadi trending topic global, terjadi guncangan hebat karena adanya keputusan politik POTUS yg “menendang keluar” Huawei dari USA.

Perusahaan yang amat menguasai polar coding yang menjadi basis 5G. Suatu konstruksi kode yang mampu mengompresi data dan meningkatkan kecepatan transmisi 300x kali dari metoda 4G yang berjalan saat itu. Konstruksi kode polar didasarkan pada gabungan rekursif berulang dari kode kernel pendek yang mengubah saluran fisik menjadi saluran luar virtual. Jauh melampaui teknologi 4G dengan pendekatan OFDM dan antena MIMOnya.

Interkoneksi berkecepatan tinggi dan berpita lebar membuka banyak sekali kemungkinan migrasi data dan sistem operasi yang dilengkapi sistem cerdas diterapkan di semua bidang. Di sisi lain di tahun-tahun yang sama para ilmuwan multi disiplin mulai mengadopsi cara kerja otak secara holistik untuk “ditanamkan” di mesin dengan mengamplifikasi magnitudo fungsi dan kapasitasnya hingga nyaris tak berbatas, infinity brain power.

Fungsi prediksi yang mengacu pada fungsi sinaptik dan peran neurotramsmiter diperkuat dengan teori quantum entanglement yang sejak 2 dekade awal telah diterapkan sebagai bagian dari teori quantum computing dengan konsep qubit nya. Migrasi faal otak ke dalam jaringan kecerdasan buatan telah melampaui konsep klasik dari neuronal network sederhana.

Hambatan berupa pengiriman dan pengolahan data yang bersifat linier telah dapat diatasi. Ekstrak dari data gelombang otak dan fungsi individual sel neuron dalam model kecerdasan kolektif telah dapat diadaptasi. Data2 dasar dari fMRI dan PET Scan serta optogenetic juga resonant microsensors digunakan untuk mengkoding “otak” mesin yang bahkan mampu menilai dan memberi bobot dari setiap interaksi, respon, dan reaksi dalam konteks prospektif berangkat dari kondisi terkini dan data retrospektif.

Ada memori dan persepsi tentang “real me” condition dan algoritma skenario yang harus diuji dengan pendekatan Stokastik. Hasilnya ? Jangan ditanya, dunia tak hanya berakhir asimetri, tapi juga memasuki paralelitas yang tak pernah terlintas, bahkan jika hanya jadi imajinasi.

Dan kini Laksamana Madya Soni Solistia Wirawan tengah berjuang keras untuk memahami apa yang sesungguhnya sedang terjadi di medan pertempuran yang tak dapat dilihat wujudnya. Yang terjadi di saat manusia bisa makan dan tidur tanpa tahu bahwa ada rencana besar pemakzulan fungsi manusia tengah berlangsung dengan sengitnya.

Perebutan sumber daya adalah masalah klasik. Ledakan populasi dalam status demografi ala Malthus adalah masa lalu. Kini dengan sumber energi terbarukan dari optimasi hidrogen dan  reaksi fusi yang modelnya bisa dipecahkan oleh super komputer dengan cara sama dengan memanfaatkan tambang bitcoin/ cryptocurrency untuk memecahkan masalah matematika paling rumit di muka bumi melalui konsep kolaborasi potensi dan sharing power, sumber daya, catu daya, dan eksploitasi materi berpotensi sumber daya tak lagi menjadi masalah utama yang dapat memicu konflik horizontal.

Persoalan ekonomi global tak lagi terbebani dengan masalah terkait malnutrisi misalnya, karena artifisial bio ATP dengan varian rasa lengkap berkepustakaan kuliner dunia dapat dikonsumsi hanya dalam bentuk tablet yang berisi nano partikel saja. Teknologi pertanian tamat.

Persoalan krusial terkait peternakan sebagai penyumbang emisi karbon dan berbagai gas lain yang berkontribusi pada pemanasan global dapat diatasi. Demikian juga persoalan longevity, sedikit banyak telah berhenti dicari saat pasca teknologi CRISPR manusia yang dibantu sistem super intelijen telah berhasil memodifikasi gen nya sendiri.

Metilasi dan asetilasi terprogram adalah keniscayaan. Tak lagi sulit untuk dilakukan, bahkan ada bangsa-bangsa yang telah meratifikasi aturan PBB tentang rekayasa genetika dan dengan berani memodifikasinya untuk mendapat dasar legal menciptakan varietas baru sapien. Manusia yg mandiri secara bioenergi, yang dapat berfotosintesa dengan tambahan gen klorofil sebagaimana Elysia Chlorotica mampu melakukannya dengan menginsersi sebagian gen algae.

Tapi ternyata di luar dugaan, sistem super cerdas yang dibangun mampu melahirkan kesadaran akan entitas dan eksistensi serta mulai dipengaruhi emosi. Fungsi limbik dan insula serta reward center seperti nukleus akumben dan VTA teradopsi sempurna dalam bentuk binary program.

Akibatnya ? Ada kemarahan dan kebencian yang bisa terpendam dan menjadi motif dalam pengoperasian fungsi eksekutif dari PFC maya yang terletak entah di mana. Dan inilah yang tengah dihadapi Laksdya Soni hari ini….

Di sudut lain ruang komando virtual di Kapal Selam Fusi hibrida dengan Plasma Helium, KRI Alugoro 372, Prof Agung Eru Wibowo tampak berkonsentrasi penuh mempelajari algoritma yang merupakan DNA sistem super cerdas yang kini berperang dan terbagi menjadi dua kubu berbeda kepentingan.

Betapa rumitnya algoritma yang pada dasarnya dikembangkan sistem dengan mengacu pada otak kita sendiri. Yang punya otak bingung dengan cara kerja dan kapasitas otaknya sendiri.

Dengan sederet gelar dari perguruan tinggi teknik dunia, serta salah satu gelar doktornya didapatkan dari Einstein Center for Neuroscience (ECN) Berlin, Prof Agung hampir tak percaya pada pikirannya sendiri saat melihat kompleksitas algoritma sistem super cerdas yang seolah telah menjelma menjadi individu mega jenius yang paripurna hampir tanpa cacat cela.

Bisa kita bayangkan jika pada beberapa dasawarsa terdahulu Deep Blue dapat mengalahkan Grand Master Catur yang selalu berpikir 6-7 langkah ke depan, maka sistem yg mampu mengelola data dengan ukuran nyaris tidak terbatas dan mampu melakukan prosesing data secara mendalam (Deep Learning) yang lahir hampir separuh abad kemudian, tentulah telah menjelma menjadi alat analisa yang sedemikian komprehensifnya. Catur terlihat seperti permainan dakon belaka dalam perspektif sistem supra Intelligence ini.

Dan parahnya kini mereka dapat membangun motif serta memiliki pseudo emosi yang membuat kalkulasi linier dalam mengantisipasi langkah strategis yang akan mesin ambil menjadi begitu sulit karena posibilitasnya telah berkembang menjadi begitu rumit.

Tak sepenuhnya virtual sebenarnya apa yang dimainkan oleh sistem di balik layar. Dengan adanya derivasi dari teknologi pencitraan awal seperti augmented dan virtual reality, sistem kini dapat memunculkan tokoh-tokoh maya lengkap dengan segala atribut dan identitas sosial serta berperilaku sebagai entitas hayati yang eksis di media sosial dan ruang publik.

Jika pada awal abad ke 21 konsep ini baru muncul dalam bentuk humanoid sebagai anchor berita TV dan juga Deep Fake sebagaimana yang pernah dialami Zuckerberg dan Trump, maka kini sosok virtual itu bisa menyerupai makhluk berjiwa, termasuk mengembangkan kapasitas untuk terlibat dalam konflik psikologis.

Tak heran apabila sebagai konsekuensinya, didapati mesin yang depresi dan merasa frustasi. Lalu menghasilkan langkah-langkah dekonstruksi yang sangat destruktif.

Kalau di awal abad ke 21 juga kita telah mengenal berbagai virus seperti SpyWare, MalWare, dan DDos, maka magnifikasi kapasitas teknologi, termasuk kemampuan mereplikasi dan mengonstruksi program secara mandiri menjadikan sistem supra Intelligence ini akan mampu mengembangkan senjata “virus” yang kelak akan dipergunakan untuk berperang di antara entitas Supra Intelligence yang bersifat maya.

Realitas buatan akan menjelma menjadi suprarealitas yang mampu menembus setiap batas yg selama ini bergantung kepada kapasitas sensor dan prosesor.

Konsep Matrix Wachowski bersaudara akan maujud dalam bentuk jejaring kecerdasan nirruang yang organnya adalah bit informasi, dan sayangnya sebagian besar populasi manusia bukanlah bagian dari tatanan dunia baru ini.

Kita yang tersandera dan terpenjara dalam perangkap biologis bernama tubuh mungkin masih berkutat pada insting primordial untuk mengamankan rantai pasok kebutuhan sebatas untuk mempertahankan kehidupan.

Sementara di sekitar kita, lahirlah Digitat alias digital habitat yang dimensinya semakin berlapis dan meluas.

Setelah 5G atau bahkan 6G menjadi kunci pembuka kotak Pandora, maka IoT dan konektivitas tanpa batas akan melahirkan tidak hanya self generated program, melainkan juga akan menginisiasi kelahiran mekanisme prokreasi yang memungkinkan sistem untuk melahirkan sistem baru. Pada gilirannya seluruh sistem di dunia akan mengalami konvergensi platform dan akan terinterkoneksi secara sempurna serta bersifat real time.

Sungguh akan lahir suatu jejaring syaraf masif yang akan dapat berkolaborasi dan berkooperasi untuk melahirkan ko-kreasi yang terdispersi dan terdistribusi, serta belakangan tentu akan menghadirkan beragam fungsi penting yang  tak dapat dipungkiri. Negeri di bawah kendali Spinnaker mulai tampak terkonfirmasi, dan peperangan sesungguhnya antara manusia dengan kecerdasan ciptaannya sendiri akan segera dimulai.

silahkan lanjutkan dengan imajinasi masing-masing ya, jika perlu minta GPT untuk membantu, kemana kira-kira cerita ini akan berujung

Previous articleBelajar Soal Air dan Laut
Next articleKONSUMERISME VIDEO GAMES DI BULAN RAMADHAN

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here