

“Saya pikir salah paham terbesar di kalangan orang tua adalah mereka berpikir video game hanya untuk anak-anak” ungkap Patricia Vance, Presiden Entertainment Software Rating Board (ESRB) di halaman pembuka website mereka.
Sepertinya ucapan itu ada benarnya. Banyak masyarakat yang tak peduli dengan (konten) video game. Mereka menilai ‘permainan layar kaca’ itu cuma untuk anak-anak. Sama seperti ketika mereka menilai permainan lainnya (tradisional). Memang pada dasarnya permainan tercipta di dunia anak-anak. Terlebih orang dewasa terlalu ‘sibuk’ sehingga tak sempat bermain. Padahal, kata Patricia, orang tua yang hidup di era sekarang tumbuh bersama video game. Sehingga sangat mustahil mereka tak mengenal ‘isi’ video game. “Tapi saya rasa salah paham itu masih ada dan bersifat fundamental,” imbuhnya dalam sebuah wawancara di laman resmi ESRB.
Sebenarnya debut video game sudah dimulai sejak awal 1950-an. Lalu mulai tenar ketika video game arcade (kita kenal sebagai ding-dong) diperkenalkan tahun 70-an. Sejak saat itu industri video game berkembang pesat. Sekarang beragam jenisnya, mulai dari konsol besar (ding-dong) hingga perangkat mobile. Bagi kita yang hidup di era 70-an, terutama di Indonesia tentu akan merasa asing dengan video game. Pakar Media Massa, Santi Indra Astuti melabeli dengan istilah ‘masyarakat transisi’ (dalam konsep Teori Generasi Strauss-Howe, kita menyebutnya X, Y, atau Z). Yakni, mereka yang hidup ditengah perubahan massal ‘wajah dunia’. Semula tradisional mendadak jadi digital.
“Sedangkan mereka yang lahir tahun 80-an ke atas sudah mulai terbiasa dengan teknologi,” jelas Santi, yang kini dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (Unisba) itu. Wajar bila para orang tua sekarang masih ‘kebingungan’ dengan gejala lompatan teknologi. Sedangkan, anak-anak mereka yang sekarang sudah berumur 20-an atau kurang begitu terbiasa dengan era ‘serba-cepat’. Apalagi anak-anak sekarang, mereka terbiasa dengan YouTube, Google Play, Twitter, Xbox, hingga iPad. Lonjakan kebudayaan inilah yang kerap menimbulkan ‘salah paham’ dalam pemanfaatannya kelak.
Santi menjelaskan, posisi video game sangat vital. Selaku produk media massa, video game juga punya andil besar di masyarakat dan keluarga. Di Amerika, video game sudah jadi bagian dari keluarga. Sebuah data tahun 2010 menunjukan 72% rumah di Amerika dilengkapi dengan konsol video game. Data yang dilansir oleh Entertainment Software Associaton (ESA) menunjukan setiap detik dalam sehari di Amerika terjual 9 judul video game (2009). Di sektor ekonomi industri software video game begitu diperhitungkan. Selama 2009, video game sudah menyumbang USD 4,9 miliar. Tentu angka ini terus naik dan berlipat ganda tiap tahunnya.
Melihat pertumbuhan ‘si bungsu’ yang begitu cepat, kita kudu siap-siap. Globalisasi memperlancar transfer teknologi, termasuk di dalamnya video game. Video game baru masuk Indonesia era 90-an dan langsung menjamur. Trend-nya mulai mencolok medio tahun 2001, saat game online mulai booming. Berlanjut begitu cepat hingga sekarang. Sebut saja beberapa video game yang sempat mencuri perhatian kaula muda; Counter Strike, Nexia, Ragnarok, Tomb Rider, World of Warcraft, Call of Duty, Grand Theft Auto, dan sebagainya. Tak lupa konsol video game yang tiap tahun selalu ada inovasi. Disusul dengan kehadiran Mobile Gaming yang kian digemari; PUBG, Mobile Legend, AOV, Clash of Royale, Fortnite, dan se-abrek game mobile beken lainnya.
Disadari atau tidak, video game sekarang sudah berada di ruang tamu, bahkan kamar tidur kita masing-masing. Tumbuh bersama anak-anak kita, bermain dan belajar bersama mereka. Bila tak disikapi, bukan tak mungkin video game akan ‘membawa’ anak kita. Seperti televisi, yang beberapa tahun kebelakang sempat ‘menculik’ anak-anak Indonesia. Sudah banyak ‘korban’ media massa. Mulai dari urusan kesehatan, psikologis, hingga yang kecanduan. Para pegiat komunikasi dan media massa menggelorakan isu ‘melek media’. Seperti yang dilakukan Santi di Unisba melalui program media literasi. Kita harus mampu mengontrol konsumsi media, alih-alih kita yang ‘dikuasai’. “Itu artinya Anda yang pegang kendali,” tutur Santi.
Lalu, bagaimana dengan video game? Sama saja. Kita tak boleh lengah, apa lagi sampai ‘menyerahkan’ buah hati pada video game. NXG Indonesia, selaku pemantau konten video game dan komunitas pemerhati isu literasi digital di Indonesia berusaha membantu masyarakat ‘memegang kendali’. Sudah saatnya kita mengenali ‘mainan’ baru anak-anak kita. Lebih dari itu, kita harus memahami dan ‘menguasainya’. Hal ini penting! Sebab tanpa kendali, video game justru memberi efek negatif. Misalnya, penggunaan video game yang tidak sesuai atau durasi bermain yang berlebihan. Disinilah orang tua berperan. Sebagai ‘pemandu’ kegiatan bermedia yang dilakukan anak-anak.
Pendiri FamilyFriendlyVideoGame.com, Johner Riehl berpendapat bahwa sekarang adalah saat yang tepat bagi orang tua untuk mulai merubah cara pandang mereka terhadap video game. “Mungkin 15 tahun yang lalu kita masih bisa menyampingkan isu video game. Tapi kini, semua orang ‘hidup’ bersama video game.” Video game ibarat perabot dapur, kata Johner, mereka ada disetiap rumah. Baik itu konsol, komputer, perangkat portable, hingga video game berbasis web -seperti permainan facebook. Anda perlu mengidentifikasi, apa yang digunakan oleh anggota keluarga di rumah, terlebih yang digunakan anak-anak.
Kenyataannya orang tua yang tumbuh di awal ‘era’ video game ‘menularkan’ hobi barunya kepada anak-anak. Penulis sendiri misalnya, pengalaman pertama bermain video game justru diperkenalkan oleh ayah. “Tapi orang tua yang lebih tua lagi atau kakek dan nenek tidak melakukan hal itu, karena mereka tak sempat ‘mengenal’ video game,” tambah Johner. Mereka masih menilai video game sebagai ‘barang asing’ yang berbahaya. Walaupun penilaian mereka tak semua salah. Hingga kini diskusi dan kajian tentang video game memang banyak mengungkap sisi negatif, seperti kekerasan, erotisme, aksi-aksi terorisme, hingga pengaruhnya pada perilaku. Tapi dilain pihak, banyak juga yang menentang hal itu. Salah satunya seperti sindiran yang dilontarkan oleh FOX News, 2011 lalu. Sebuah tayangan televisi dengan menampilkan para ‘expert’ video game secara tegas menyatakan, “siapa bilang tayangan, sindirian bertema seks, dan kekerasan dalam video game punya efek ‘peluru’?”