Beranda Artikel Adaptasi Genetika dan AI: Dampak Perubahan Iklim Terhadap Manusia – Sebuah Cerita...

Adaptasi Genetika dan AI: Dampak Perubahan Iklim Terhadap Manusia – Sebuah Cerita dari Danau DAL

237
0

Tauhid Nur Azhar

Beberapa tahun lalu saya mengunjungi daerah paling eksotis di anak benua Asia, Kashmir. Udara dingin membekukan langsung menyambut kami di pintu keluar bandara Sheikh ul-Alam International Airport, seiring dengan aroma subliminal yang terasa lembut di latar angin. Bau samar pinus dan tetumbuhan tundra dengan serbuk sarinya memberi sensasi yang nyaris tiada bandingnya.

Sebenarnya kurang tepat juga jika dikatakan aroma tundra yang terdiri dari pelapukan material organik dan lelumutan yang khas di daerah berlintang tinggi dan mendekati kutub bumi. Tapi di ketinggian punggung pegunungan Himalaya ini saya juga merasa ada kesamaan dengan aroma-aroma yang pernah saya hirup di area dekat kutub utara.

Tundra sendiri berasal dari kata dalam bahasa Finlandia yaitu tunturia yang artinya dataran tanpa pepohonan. Hingga dapat dikatakan bahwa bioma tundra adalah ekosistem dataran luas yang tidak ditumbuhi oleh pepohonan sama sekali, melainkan diisi oleh semak dan keluarga lumut.

Bioma tundra terletak pada daerah bersuhu ekstrem. Terdapat dua bioma tundra yang utama, yaitu tundra kutub dan tundra alpin. Tundra kutub bisa ditemukan di Arktik atau Kutub Utara dan Antartika atau Kutub Selatan, sedangkan tundra alpin berada di puncak pegunungan. Mungkin yang saya hirup aromanya ini adalah tundra Himalaya ya?

Sapuan udara dingin menggemaskan itu berlanjut saat kami diantar oleh Uncle Abdul pemandu wisata lokal kami ke Dal Lake. Kami akan tinggal di authentic house boat di danau Dal ini selama kami menjelajahi wilayah Kashmir dataran tinggi.

Rumah perahunya benar-benar eksotik. Terbuat dari kayu lokal dan diukir dengan pola organik yang rumit, mengingatkan akan karya dengan orisinalitas dinasti Mughal yang memang sempat berkuasa di sana berabad-abad lampau.

Terletak di danau yang air hijau birunya nyaris membeku dan dikelilingi deretan pegunungan yang puncak-puncaknya berselimut salju, menjadikan rumah perahu di danau Dal adalah akomodasi impian yang penuh dengan kemuncak keindahan.

Satu kapal hanya kami bertiga yang menghuni. Kapal itu tertambat di tepian secara permanen, di dalamnya lengkap sekali, ruang tamu, dapur, kamar makan, sampai 3 kamar tidur. Ada seorang juru masak privat yang bertugas menyiapkan masakan segar tiga kali sehari untuk kami yang tinggal di kapal.

Masakannya lezat sekali, sungguh mewakili capaian tertinggi estetika rasa yang nyaris tiada dua. Andai kami tinggal di rumah kapal ini lebih dari 1 minggu, tampaknya berat badan kami akan meningkat 2x.

Di sela-sela petualangan kami di gunung-gunung salju pegunungan Himalaya sisi India, Paman Abdul sang pemandu banyak bercerita. Ia berkisah antara lain tentang suku Hunza yang komunitasnya berhabitat di sisi lain pegunungan yang kini tengah kami daki.

Suku Hunza adalah suku bangsa yang tinggal di Lembah Hunza di Pakistan Utara. Mereka dikenal dengan gaya hidup sederhana, mandiri, dan bertumpu pada pertanian organik. Suku Hunza termasuk salah satu kelompok orang di dunia yang berumur panjang. Hingga beberapa tahun lalu sempat diliput secara khusus oleh National Geography.

Menurut Om Abdul, salah satu kunci kunci rahasia umur panjang orang Hunza adalah makanan harian mereka yang didominasi buah Apricot kering.

Sementara dari perspektif epigenetik atau epigenom yang kelak banyak saya dalami dan pelajari ada beberapa fakta menarik terkait interaksi antara manusia dengan lingkungannya, termasuk dengan suhu, ketinggian (elevasi), ataupun makanan tentu saja.

Suatu studi di area yang masih bertetangga dengan Kashmir, Tibet, menunjukkan adanya indikasi adaptasi genetika yang dapat dipelajari pada alel EPAS1 yang berhubungan dengan mekanisme adaptasi terhadap ketinggian dan kadar konsentrasi (rendah) oksigen (Beall et al, 2010).

Saya membayangkan jika berbagai inisiatif seperti REDD, Reducing Emission from Deforestation and forest Degradation (REDD+) yang nerupakan upaya dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memberikan insentif kepada negara berkembang yang mampu mengurangi emisi gas rumah kaca yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan, carbon trading, ESG approach, dan banyak inisiatif lainnya tidak berhasil merubah perilaku eksploitatif dan manipulatif manusia, maka lapisan es di berbagai pegunungan atap dunia akan semakin cepat mencair, suhu meningkat karena efek rumah kaca, fungsi dan peran lahan akan bergeser, berbagai penyakit dan perubahan biologis akan terjadi seiring dengan laju degradasi lingkungan yang terjadi secara berkesinambungan.

Manusia dan berbagai spesies biologi lainnya memiliki pola adaptasi genetika atau genom yang dimungkinkan oleh adanya mekanisme epigenetik.

Ada beberapa contoh mutasi genetik yang memberikan peningkatan survivalitas kelompok manusia tertentu. Misal kelainan genetik yang mengakibatkan Sickle cell anemia yang termanifestasi dalam perubahan bentuk sel darah merah atau eritrosit yang menjadi seperti bulan sabit.

Kondisi struktur sel darah merah yang berbentuk bulan sabit itu menjadikan adanya privilege tidak bisa diinfeksi oleh plasmodium malaria.

Perubahan iklim global (global climate change) besar kemungkinan akan memberikan dampak signifikan pada proses konsolidasi genom, dan dapat mendorong beberapa mekanisme adaptasi genetika.

Adaptasi genetika dapat terjadi sebagai respons terhadap adanya tekanan akibat perubahan lingkungan. Misal, perubahan pola penyakit akibat perubahan iklim dapat mempengaruhi frekuensi alel yang terkait dengan resistensi terhadap penyakit tertentu.

Populasi yang hidup di daerah dengan suhu ekstrem mungkin menunjukkan perubahan frekuensi alel yang terkait dengan regulasi suhu tubuh atau metabolisme.

Perubahan iklim dapat mempengaruhi faktor lingkungan dan biologi seperti akumulasi kadar polusi, nutrisi, dan stres, yang semuanya dapat mendorong terjadinya perubahan epigenetik.

Salah satu mekanisme adaptasi secara epigenetik berlangsung melalui modifikasi seperti metilasi DNA dan perubahan histon, yang dapat memengaruhi ekspresi gen tanpa mengubah urutan DNA.

Perubahan ini dapat diwariskan dan mempengaruhi profil genom generasi berikutnya. Misal adanya paparan polusi udara yang meningkat akibat perubahan iklim dapat menyebabkan perubahan epigenetik yang mempengaruhi perkembangan paru-paru dan sistem pernapasan yang kemudian diwariskan kepada garis keturunannya.

Perubahan iklim juga dapat mempengaruhi distribusi geografis dan pola penyebaran penyakit menular, seperti malaria, demam berdarah, dan penyakit zoonosis lainnya. Perubahan ini dapat meningkatkan tekanan seleksi pada populasi manusia untuk alel yang memberikan resistensi terhadap penyakit-penyakit tersebut.

Perubahan iklim terbukti juga dapat mempengaruhi ketersediaan dan kualitas makanan, yang dapat mempengaruhi status gizi populasi, dimana malnutrisi dapat mempengaruhi perkembangan genetik dan epigenetik, serta kesehatan reproduksi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi profil genom suatu individu.

Penelitian menunjukkan bahwa paparan polusi udara dapat menyebabkan perubahan metilasi DNA yang berhubungan dengan penyakit pernapasan dan kardiovaskular (Bind et al, 2014).

Lalu sejalan dengan perkembangan saat ini, teknologi AI atau kecerdasan artifisial dapat membantu kita mengelola isu lingkungan ini? Pas benar dalam waktu dekat KORIKA (Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial) bersama dengan BMKG akan menyelenggarakan AI Data-thon 2024. Menarik untuk diulik bukan? Bagaimana peran AI dalam menganalisis data tentang perubahan iklim dan dampaknya pada kondisi human wellbeing ?

Dalam perspektif saya yang amat terbatas, saya dapat membayangkan betapa powerful nya AI jika digunakan untuk mengolah data iklim dan cuaca yang bersumber dari institusi meteorologi yang kompeten dengan alat yang presisi dan tervalidasi, serta mengintegrasikannya dengan sistem prakira atau forecast dinamika aspek terkait seperti kesehatan.

Jika kita ingin mengembangkan sistem analisis cerdas perubahan iklim berbasis AI, maka kita tentu memerlukan data historis dan prediksi iklim dari sumber valid seperti BMKG, BIG, BRIN, Pushidrosal, NASA, NOAA, dan data satelit dari berbagai sumber, juga berbagai data klimatologi yang dikumpulkan dari berbagai titik di daerah amatan.

Data dapat mencakup suhu, curah hujan, kelembapan, data cuaca ekstrem, dan lain-lain.

Diperlukan pula data ekonomi yang bersumber dari lembaga resmi yang kredibel seperti Biro Pusat Statistik dengan berbagai indikator objektifnya, termasuk GDP, indeks harga konsumen, tingkat pengangguran, dan indikator ekonomi lainnya.

Tentu saja diperlukan data kesehatan dari institusi terkait seperti Kementerian Kesehatan dan WHO, yang mencakup insiden penyakit, angka kematian, ketersediaan layanan kesehatan, dan status gizi.

Selanjutnya dilakukan proses preprocessing untuk membersihkan dan menormalisasi data untuk mengatasi data yang hilang dan mengurangi potensi noise.

Proses selanjutnya adalah menggabungkan berbagai dataset dan menyelaraskannya berdasarkan waktu dan lokasi.

Model AI yang ddapat digunakan dalam konteks mixed model ini, antara lain adalah Neural Networks seperti Convolutional Neural Networks (CNN) untuk menganalisis data iklim berbasis citra, seperti data satelit, lalu Recurrent Neural Networks (RNN) dan LSTM untuk mengelola data deret waktu, seperti tren perubahan iklim dan dampaknya dari waktu ke waktu.

Dapat digabungkan juga dengan Random Forest dan Gradient Boosting Machines (GBM) untuk menangani data tabular dari indikator ekonomi dan kesehatan.

Selanjutnya dapat dikembangkan arsitektur model AI yang meliputi input layer yang terdiri dari input data iklim, ekonomi, dan kesehatan.

Sementara hidden layers sepertidi CNN digunakan untuk mengolah data citra iklim, diikuti oleh LSTM untuk menangani urutan data deret waktu.

Model ensemble seperti random forests digunakan untuk data tabular. Dua keluaran utama/output yang direncanakan adalah prediksi dampak perubahan iklim global terhadap dinamika ekonomi dan status kesehatan.

Model yang telah dikembangkan dapat dilatih menggunakan data historis, dengan validasi silang untuk mencegah terjadinya overfitting.

Dapat digunakan teknik augmentasi data untuk memperbanyak data pelatihan dan meningkatkan generalisasi model.

Evaluasi dan validasi model dapat menggunakan metrik seperti Mean Absolute Error (MAE), Root Mean Squared Error (RMSE), dan untuk mengukur akurasi prediksi.

Validasi dengan data baru yang tidak digunakan selama pelatihan untuk memastikan model mampu memprediksi dengan baik di situasi nyata.
Pengumpulan dan integrasi data sendiri, dapat dilakukan dengan menggunakan API dari lembaga terkait untuk akuisisi data iklim, ekonomi, kesehatan, dll.

Tahap krusial dalam mengembangkan model AI adalah pada saat mengembangkan arsitektur model di framework seperti TensorFlow atau PyTorch.

Pemanfaatan teknologi AI dalam proses analisa data diharapkan dapat meningkatkan akurasi mekanisme prediksi, membantu membangun simulasi secara riil, dan dapat membantu pengembangan skenario dan strategi yang tepat dalam mengantisipasi berbagai dampak yang dapat diakibatkan oleh perubahan iklim global, serta pengembangan berbagai skenario pencegahan perubahan iklim global.

Google sebagai salah satu industri teknologi informasi garda depan telah mengembangkan Google AI, sebagai suatu piranti bermodel AI yang sudah mampu melakukan mekanisme yang mereka sebut sebagai nowcasting, bukan lagi forecasting sebagaimana yang jamak kita kenal.

Mengapa nowcasting ? Karena model cuaca Google AI sudah dapat memprediksi bahkan memitigasi perubahan cuaca, bahkan dampaknya, dalam 1-2 jam ke depan. Dimana kapasitas dan kemampuan ini sangat penting dalam proses mitigasi dan peringatan dini bencana, khususnya yang berkorelasi dengan faktor alam seperti cuaca dan iklim.

Maka besar harapan bahwa dengan penerapan AI dalam model prediksi perubahan iklim global dan dinamika cuaca lokal, dapat terbangun suatu sistem informasi mitigatif yang dapat digunakan untuk memandu langkah-langkah preventif yang dapat mencegah berbagai dampak perubahab iklim di berbagai aspek, khususnya kesehatan dan ekonomi yang merupakan elemen fundamental dalam konstruksi peradaban yang kita kenal dan jalani saat ini.

Semoga danau Dal tetap dapat membeku pada waktunya, dan jajaran pegunungan Zabarwan yang terlihat pantulannya di Danau Dal, dengan puncak tertingginya yang bernama puncak Mahadev yang berketinggian 3.966 mdpl, dapat terus terselubungi salju yang indah dari waktu ke waktu. 🙏🏾🙏🏾

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini